Jakarta, 21 Mei 2025 — “Ketika sejarah mulai dilupakan, maka pengkhianatan terhadap masa depan hanya tinggal menunggu waktu.” Kalimat penuh makna itu menggema di tengah hangatnya diskusi dalam Sarasehan Aktivis Lintas Generasi, yang digelar dalam rangka memperingati 27 Tahun Reformasi di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu (21/5/2025).
Acara ini menjadi ajang penyambung nyala semangat perjuangan reformasi 1998 kepada generasi muda, dihadiri oleh para tokoh penting nasional seperti Dr. Hariman Siregar, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Masinton Pasaribu, serta sejumlah pejabat negara dan akademisi, termasuk Wamenkumham Mugiyanto, Wamensos Agus Jabo Priyono, Wamenaker Immanuel Ebenezer, Wamenperin Faisol Riza, Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari, Robertus Robet, dan Wahab Talaohu.
Aktivis antikorupsi asal Sumatera Utara, Saharuddin, turut hadir bersama Ariswan, aktivis muda yang juga berasal dari Sumut. Kehadiran mereka menegaskan bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi masih menyala, bahkan melintasi lintas generasi.
Dalam wawancaranya, Saharuddin menegaskan pentingnya regenerasi perjuangan. “Aktivis adalah pagar terakhir demokrasi. Mereka bukan musuh negara, tapi penyeimbang kekuasaan. Ketika semua lembaga diam, maka aktivislah yang harus bersuara,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya forum diskusi, sekecil apapun, sebagai ruang berpikir dan bertindak. “Demokrasi tidak diwariskan begitu saja. Ia harus dirawat, dipertahankan dengan pikiran dan keberanian,” ujarnya.
Sementara itu, Ariswan menyerukan agar generasi muda tidak terbuai oleh zaman yang permisif. “Banyak kebijakan hari ini yang menjauh dari aspirasi rakyat. Kita tidak boleh diam. Reformasi bukan slogan, tapi perjuangan yang terus diperbarui dengan integritas,” katanya.
Ia mengajak para aktivis muda untuk tetap kritis, berani, dan tidak tunduk pada sistem yang korup. “Kalau kita diam, kita sedang menggali liang kubur untuk demokrasi yang tengah sekarat,” tutupnya.
Sarasehan ini menjadi pengingat bahwa reformasi belum selesai. Dalam negeri yang pernah berdarah untuk demokrasi, menjadi aktivis bukan pilihan, tapi kewajiban moral. Bila generasi muda hanya sibuk membangun citra tanpa keberanian bersuara, maka mereka bukan pewaris reformasi, melainkan penikmat kenyamanan yang dibayar mahal oleh pengkhianatan sejarah.
Saatnya bangkit, atau kita akan dikenang sebagai generasi yang membiarkan demokrasi mati perlahan—dicekik oleh apatisme dan ketakutan.TR/il_06