MEDAN | Rabu, 9 Juni 2025 — Desakan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera memeriksa Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, kian menggema. Hal ini tak lepas dari perkembangan terbaru dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara beberapa waktu lalu.
Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan lima tersangka, salah satunya adalah Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting. Penangkapan ini memicu berbagai spekulasi dan kecurigaan publik terhadap pihak-pihak yang diduga ikut terlibat atau memiliki kaitan erat dengan jaringan korupsi tersebut, termasuk Gubernur Sumut Bobby Nasution, yang saat ini menjabat sebagai kepala daerah tertinggi di provinsi itu.
Hingga saat ini, Bobby Nasution memang belum ditetapkan sebagai tersangka maupun dipanggil untuk diperiksa. Namun, berbagai kalangan masyarakat sipil dan aktivis anti-korupsi mempertanyakan sikap KPK yang dinilai lamban dan belum sepenuhnya transparan. Salah satunya datang dari kelompok Gerakan Berantas Korupsi Sumatera Utara (GERBRAKSU) yang dengan lantang meminta KPK tidak tebang pilih dalam mengusut tuntas kasus korupsi di instansi pemerintahan Sumut.
“Kami menuntut KPK segera memanggil dan memeriksa Gubernur Sumut. Jangan sampai penegakan hukum hanya menyentuh bawahan, sementara pimpinan seolah tak tersentuh. KPK harus adil dan berani,” tegas Ketua GERBRAKSU, dalam pernyataan resminya kepada media.
KPK sendiri dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa penyidikan masih terus berlangsung dan pihaknya akan menelusuri lebih jauh kemungkinan adanya keterlibatan pejabat lain, termasuk keterkaitan aset atau aliran dana mencurigakan yang masuk dalam struktur pemerintahan daerah.
Profil Singkat Bobby Nasution: Dari Pengusaha ke Kursi Gubernur
Muhammad Bobby Afif Nasution dikenal publik sebagai figur muda yang cepat menanjak dalam karier politik. Menantu Presiden Joko Widodo ini lahir dari keluarga elit Mandailing. Ayahnya, almarhum Erwin Nasution, pernah menjabat sebagai Direktur Utama PTPN IV.
Setelah meraih gelar Magister Manajemen Agribisnis dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bobby terjun ke dunia usaha, khususnya sektor properti di Medan dan Jakarta. Karier politiknya mulai mencuat saat terpilih sebagai Wali Kota Medan, dan kini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Namun, dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, publik kini mulai menyoroti harta kekayaan Bobby yang dilaporkan ke KPK melalui e-LHKPN. Per Februari 2025, total kekayaannya tercatat sebesar Rp57,84 miliar, dengan tren kenaikan sebagai berikut:
- 2020: Rp54,86 miliar
- 2021: Rp55,93 miliar
- 2023: Rp57,55 miliar
- 2025 (Februari): Rp57,84 miliar
Kenaikan kekayaan ini disebut stabil, namun tetap menjadi perhatian penyidik, mengingat skandal yang sedang menyeret Dinas PUPR tempat para bawahannya terlibat dalam dugaan suap.
KPK Dituntut Tegas, Publik Ingin Kepastian
Masyarakat Sumatera Utara berharap agar KPK bertindak tanpa pandang bulu. Dalam banyak kasus sebelumnya, masyarakat kerap kecewa saat para elit politik terkesan ‘kebal hukum’, sementara pegawai kecil menjadi kambing hitam. Kini, masyarakat mendambakan adanya keadilan yang tidak hanya simbolik.
“Jangan sampai KPK kehilangan kepercayaan publik. Kasus ini harus dibuka seterang-terangnya. Jika memang Gubernur tidak terlibat, biarkan proses hukum membuktikannya. Tapi jika ada dugaan kuat, jangan tunggu opini publik memburuk,” ucap seorang tokoh masyarakat Sumut dalam wawancara.
Hingga berita ini ditulis, belum ada informasi resmi dari KPK terkait pemanggilan Gubernur Sumut. Namun, tekanan dari masyarakat sipil dan media kian kencang, menuntut kejelasan atas arah penyidikan.
Transparansi dan Integritas Menjadi Taruhan
Kasus dugaan suap Dinas PUPR Sumut ini menjadi momentum penting bagi KPK untuk membuktikan independensinya. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, lembaga anti-rasuah itu sering menjadi sorotan karena dianggap melemah.
Jika KPK mampu membongkar tuntas kasus ini dan bersikap tegas terhadap semua pihak yang terlibat, maka kepercayaan publik bisa dipulihkan. Sebaliknya, jika kasus ini berhenti hanya di level bawah, maka akan muncul kecurigaan bahwa hukum masih tumpul ke atas.red
—